Setelah proses panjang, akhirnya Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah
Jombang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional tahun 2014 bersama Letjen
(Pur) Djamin Ginting, Sukarni Karto Kartodiwirjo dan HR. Mohammad
Mangoendiprojo.
Penetapan Kiai Wahab memang dinanti-nanti banyak kalangan, khususnya
kalangan Pesantren dan NU. Pasalnya, kontribusi Kiai Wahab cukup besar
dalam mengantarkan lipatan demi lipatan perjalanan kehidupan berbangsa
dengan segala karakternya sebagaimana dirasakan hari ini.
Tercatat Kiai Wahab dibesarkan dalam lingkungan tradisi pesantren.
Tapi, tekad pribadinya sebagai aktivis politik mampu mengantarkan ia
aktif di pentas pergerakan nasional melampaui dunia pesantren yang
dipupuknya sejak kecil. Salah satunya adalah keterlibatan Kiai Wahab
dalam diskusi aktif pada masa-masa perjuangan bersama tokoh-tokoh
nasional, misalnya Ir. Soekarno, dalam membincang dan menyikapi isu-isu
terkini yang dihadapi bangsa.
Di sisi lain, khususnya dalam lingkungan NU, Kiai Wahab dipandang
sebagai salah satu tokoh kunci berdirinya NU tahun 1926. Melalui
organisasi Tashwirul Afkar, Kiai Wahab mampu mengumpulkan beberapa tokoh
pesantren untuk mendiskusikan beberapa hal kaitannya dengan isu-isu
Islam serta kontestasinya di belahan dunia Arab. Kelak forum ini menjadi
embrio dari lahirnya NU setelah mendapat restu dari Hadlratusy Syekh
Kiai Hasyim Asy’ari.
Kiai Wahab adalah sosok multi talenta; sebagai tokoh pesantren,
aktivis politik hingga ideolog Muslim tradisional. Dengan penyematannya
sebagai Pahlawan Nasional perasaaan bangga itu penting. Tapi, lebih dari
itu teladan Kiai Wahab patut menjadi contoh bagi generasi muda saat
ini, khususnya keteguhan Kiai Wahab mengawal isu-isu keislaman dan
kebangsaan.
Nasionalisme Religius
Dalam buku “Mbah Wahab Hasbullah: Kiai Nasionalis Pendiri NU”,
Saifuddin Zuhri menyebutkan bahwa Kiai Wahab dalam waktu setengah abab
mengabdikan dirinya merintis jalan perjuangan di tengah kegelapan zaman
penjajahan penuh resiko dan pengorbanan. Perjuangannya muncul didasari
oleh ilmu, akhlak, kerja keras dan harta bendanya tanpa berpikir
keuntungan materi. (hal, 8).
Kutipan di atas menggambarkan kecintaanya kepada bangsa dimulai
melalui modal sosial yang dimilikinya, yakni bermula dari lingkungan
tradisi pesantren. Karenanya, ada dua makna penting dari belajar sosok
Kiai Wahab dalam konteks kekinian bangsa.
Pertama, berkaitan dengan kehidupan beragama dan bernegara.
Melalui pesantren dan NU Kiai Wahab bersama tokoh-tokoh lainnya mampu
membumikan visi Islam yang harmoni dan mengutamakan toleransi dalam
keragamaan bangsa. Karenanya, aktivitas Kiai Wahab selalu bergerak dalam
kerangka gerak ganda yang bersamaan, yakni meneguhkan nilai-nilai Islam
di satu sisi dan mempertahankan NKRI di sisi yang berbeda.
Dilihat dari basis intelektualnya, sekali lagi Kiai Wahab dibesarkan
dalam lingkungan pesantren. Kalaupun ia pernah belajar di negeri Hijaz
(Arab Saudi), tapi sikap kritis Kiai Wahab terus ada dalam menyikapi
perkembangan Islam di semenanjung Arab terlebih ketika paham Wahhabi
disahkan menjadi ideologi negara. Bersama komite Hijaz, pada tahun 31
Januari 1926 Kiai Wahab melakukan negosiasi agar Raja Ibnu Sa’ud yang
beraliran Wahhabi memberikan kebebasan dan perlindungan kepada mereka
yang berbeda.
Semangat lokalitas ini dikembangkan oleh Kiai Wahab dalam kehidupan
beragama. Memang Arab adalah sumber lahirnya Islam, tapi spirit
keislaman yang merahmati tidak bisa wujud dengan hanya meniru Arab,
alih-alih dalam konteks kekinian yang penuh konflik. Dengan begitu
mereka yang alumni Arab atau Barat perlu terus menjadikan lokalitas
sebagai jatidiri pengembangan intelektualnya agar tidak terus
terserabut dari akar kebudayaannya.
Kedua, totalitas dalam berbuat dan keikhlasan bertindak.
Saifuddin Zuhri mencatat, kesibukan Kiai Wahab dilakukan sejak usia 25
tahun hingga menjelang wafatnya 88 tahun (hal, xi). Runtutan perjalanan
panjang ini diabdikan Kiai Wahab dalam kerangka nilai memperjuangkan
semangat kebangsaan melalui NU dan pesantren sebagai media Jihad.
Totalitas dan keikhlasan Kiai Wahab sekali lagi adalah kunci dari
keberhasilannya sehingga layak mendapat gelar Pahlawan Nasional,
sekalipun –menurut penulis—terkesan terlambat. Tidak ada pilihan bahwa
ke depan kita butuh kepemimpinan bangsa di berbagai bidangnya memiliki
semangat sama sebab hanya dengan cara seperti ini dimungkinkan tidak
akan muncul kekuasaan yang hanya mencari keuntungan jangka pendek,
alih-alih kepentingan kebangsaan.
Tanpa bermaksud mengkultuskan Kiai Wahab, kita semua harus
berterimakasih atas jazanya untuk negeri ini. Pasalnya, ungkapan Arab
mengatakan man lam yasykur al-nas lam yasykur Allah (barang
siapa yang tidak berterimakasih kepada sesama manusia, maka dipandang
tidak berterimakasih kepada Allah). Maka kunci berterimakasih kepada
Allah adalah berterimakasih kepada sesama.
Selanjutnya, penetapan Kiai Wahab sebagai salah satu Pahlawan
Nasional sekali lagi harus menjadi titik pijak kita bersama bagaimana
terus memupuk kecintaan kepada bangsa sendiri, sekaligus terus
membumikan visi keislaman yang merahmati semua. Semangat ini yang
menjadi warisan terpenting Kiai Wahab, yakni semangat
nasionalisme-religius, hingga patut dilestarikan. Semoga.
Wasid Mansyur, alumni LP Al-Khoziny Buduran Sidoarjo, penulis buku “Menegaskan Islam Indonesia: Belajar dari Pesantren dan NU”
0 komentar :
Posting Komentar